Sabtu, 10 Desember 2011

Cerita Antara Ayah dan Sepeda


Cerita Antara Ayah dan Sepeda
Oleh : Sekar Illalang

            Ayah adalah lelaki yang mulia. Walaupun pamornya selalu nomor dua setelah ibu, ayah tetap mencoba untuk menjadi yang terbaik. Terlalu banyaknya jasa seorag ayah untukku hingga membuatku tak sanggup menguraikannya satu per satu. Ketika kata ayah terdengar di telingaku yang ku ingat hanyalah pria berperawakan tinggi besar, berkulit hitam, dan bersuara lantang. Beliau selalu mengenakan kaos dan celana levis kebanggaannya.
            Hari itu, aku melihat Ayah turun dari bis sambil menenteng sepeda roda empat. Sepeda anak perempuan lengkap dengan keranjang dan lampu hias. Aku tahu pasti sepeda itu untukku. Aku berlari menghampirinya dan beliau memelukku erat. Setelah itu, beliau mengecup keningku dan mengelus rambutku.
            “Ayah, terima kasih! Aku suka sepeda baruku!”
            Ayah tersenyum manis. Beliau membantuku menaiki sepeda itu.
            “Ingat Sekar, kamu harus cepat belajar naik sepeda! Suatu hari sepeda ini akan menggantikan keberadaan Ayah.”
            Aku yang saat itu berusia 4 tahun hanya bisa mengangguk. Segera saja, aku mengayuh sepeda baruku dengan gembira. Sementara Ayah tetap mengawasiku dari kejauhan. Beliau sepertinya tak ingin meninggalkanku sendirian.
            Keesokan harinya, Ayah membangunkanku sangat pagi. Beliau langsung mencuci wajahku dengan air hangat. Kemudian perlahan membimbingku menuju halaman rumah.
            “Sekar, ayo kita latihan naik sepeda!” perintah Ayah dengan tegas.
            Aku pun menuruti perintah itu, dengan hati-hati aku menaiki sepedaku. Akan tetapi beberapa detik kemudian, aku merasa sepedaku miring. Brukkk… Aku pun terhuyung jatuh.
            “Kenapa rodanya tinggal tiga? Kemarin rodanya ada empat, Ayah?” protesku pada Ayah setelah melihat roda sepedaku hilang satu.
            “Ayah sengaja melepasnya supaya kamu cepat bisa,” ungkap Ayah.
            “Aku nggak bakalan bisa naik sepeda kalau rodanya cuma tiga!” protesku lagi.
            “Coba dulu! Nanti juga bisa..”
            “Pokoknya aku nggak mau! Kalau rodanya cuma tiga aku pasti jatuh terus, aku nggak mau sakit!” bentakku pada Ayah.
            “ Kalau takut sakit, kapan kamu bisa naik sepeda roda dua? Cepat naik! Coba dulu!” balas bentak Ayah padaku.
            Saat itulah pertama kalinya aku menemukan sosok lain Ayahku. Beliau tak selembut biasanya dan sangat kasar. Wajahnya terlihat sangat menyeramkan hingga membuatku ketakutan. Tanpa terasa air mataku menetes begitu saja.
            “Jangan menangis, Sekar! Cepat coba naik! Jangan cengeng!” bentak Ayah lagi.
            Aku segera menaiki sepedaku. Perlahan aku mengayuhnya dan Ayah memegangi bagian belakang sepedaku supaya tidak jatuh. Semenit, dua menit, dan akhirnya aku mulai lancar mengendalikan sepedaku. Aku mempercepat laju sepedaku dan menelilingi halaman rumahku yang cukup luas.
            Ketika aku asyik bersepeda roda tida, tiba-tiba Ayah melepaskan pegangannya. Padahal saat itu sepedaku sedang melaju cukup cepat. Alhasil aku kehilangan keseimbanganku dan terjatuh. Sedangkan Ayah yang berdiri tak jauh dariku hanya menatapku.
            “Cepat bangun! Jangan cengeng!” bentak Ayah lagi.
            Mendengar bentakan itu, aku emosi. Rasa kesal dan marahku telah memuncak. Kesal karena Ayah tidak memahamiku. Marah karena Ayah berubah menjadi sangat kejam padaku. Aku langsung berdiri lalu mencoba menaiki sepeda itu lagi walaupun aku harus menyimpan rasa sakitku. Aku benar-benar terbakar. Semangatku begitu membara untuk membuktikan kepada Ayah bahwa aku bisa. Akhinya setengah jam kemudian aku sudah lancar menaiki sepeda roda tiga.
            “Sekarang, kita coba roda dua!” kata Ayah saat melihat kemajuanku.
            Aku pun menghentikan sepedaku. Ayah segera mencopot roda kecil yang masih tertinggal dan menyisakan dua roda besar. Semangatku tetap membara sehingga aku merasa wajib menjawab tantangan yang diajukan oleh Ayah. Ya, aku bisa melakukannya.
            Setelah Ayah selesai mencopot roda kecil terakhirku, beliau membantuku untuk menaiki sepeda tersebut. Akan tetapi beliau hanya sesaat membantuku setelah itu beliau membiarkanku bersepeda sendiri. Masalah pun bertubi-tubi menimpaku. Ternyata kakiku belum sampai ke tanah dan itu sangat merepotkan. Aku terjatuh dan terjatuh lagi.
            Ayah tetap pada pendiriannya. Beliau hanya membantuku naik sepeda sekali saja selanjutnya beliau cukup mengawasi dari kejauhan. Huh.. aku semakin marah melihat tingkah beliau! Aku sekarang sudah sakit luar dalam. Badanku remuk karena berulang kali jatuh. Tak terhitung luka memar di dengkulku bahkan sebagian luka itu telah bercampur dengan tanah. Darah berceceran di sekujur kakiku, rasanya perih minta ampun. Sedangkan hatiku juga tak kalah remuk. Aku benar-benar tak mengerti kenapa Ayah memperlakukanku sekejam ini. Seharusnya beliau mengerti, aku adalah anak perempuan berumur empat tahun.
            “Cepat Sekar! Percepat lajumu sampai kapan kau jatuh terus!” teriak Ayah lagi.
            Aku semakin geram mendengar teriakan Ayah. Aku muak! Untung saja aku bukan anak yang suka mengumpat atau berkata kasar. Semua yang terasa menyakitakan dalam hatiku selalu aku ungkapkan dengan pembuktian. Aku berlatih semakin serius, harus ku buktikan bahwa aku bukan anak cengeng seperti yang ayah bilang. Aku juga anak yang kuat dan tidak bergantung pada orang ‘sekejam’ beliau.
            “Bagus! Bagus Sekar! Lebih cepat lagi! Jaga keseimbanganmu!” teriak Ayah untuk kesekian kalinya.
            Aku tersenyum sinis pertanda puas. Setelah itu, aku memacu sepedaku lebih cepat. Lebih cepat dari yang tadi meski tenagaku hampir habis. Mungkin hampir tiga jam aku berlatih tanpa makan sebelumnya, wajar saja bila tenagaku habis.
            “Hebat! Cukup Sekar, kamu sudah bisa naik sepeda!” kata Ayah sambil menghentikan laju sepedaku.
            Kemudian beliau menggendongku dengan lebut seperti biasanya. Beliau membawaku ke teras depan dan menidurkanku di lincak* . Ternyata sudah ada kotak P3K dan air hangat di sampingku. Tentu saja Ayah langsung membersihkan lukaku.
            “Kamu baik-baik saja kan?” tanya Ayah padaku sambil mengusapkan handuk kecil ke lukaku.
            “Tidak! Ini buruk!” jawabku ketus.
            “Bisa naik sepeda roda dua itu bagus. Pasti kamu bahagia?” tanya Ayah lagi. Kali ini Ayah dengan sangat hati-hati meneteskan obat merah pada lukaku.
            “Aauww…sakit!” keluhku.
            “Sekar, kamu harus bahagia karena bisa naik sepeda. Suatu saat sepeda ini akan sangat kamu perlukan dalam hidupku. Sepeda akan menjadi penolong dalam hidupmu. Sedangkan kemampuanmu bersepeda akan menjadikanmu lebih mandiri. Ingat Ayah tak selamanya ada di sampingmu untuk mengantarkanmu ke semua tempat.”
            Aku menatap Ayah dalam-dalam karena tidak paham apa yang dibicarakanya. Rupanya dia terlalu sibuk memotong kasa untuk menutup lukaku.
            “Oh ya Sekar, apa kau tahu hidup?” tanya Ayah lagi. Aku menggeleng.
            “Ayah hari ini mengajarimu naik sepeda seperti hidup mengajari Ayah. Hidup itu kejam sayang, jika kita tidak mempunyai kemampuan. Padahal kejam itu sangat mengerikan sekaligus menyakitkan. Akan tetapi hidup itu akan baik dan menyenangkan, jika kamu punya kemampuan. Itulah hidup!” ujar Ayah sambil merapikan kotak P3K-nya. Lukaku sudah terbungkus rapi.
            “Naik sepeda itu hidup?” tanyaku pada Ayah sekali lagi.
            “Bukan, naik sepeda bukan hidup. Naik sepeda ya seperti tadi capek, melelahkan, dan menyakitkan kalau jatuh. Akan tetapi akan sangat menyenangkan kalau kamu bisa naik sepeda. Hidup juga sama seperti itu! Kamu akan mendapat banyak tantangan yang menyakitkan, tapi jika kamu sukses melewatinya akan banyak pujian untukmu,” jelas Ayah sekali lagi.
            Aku mulai mengerti apa yang dijelaskan Ayah dan menyimpannya dalam relung hatiku yang paling dalam. Aku tidak ingin melupakan kalimat-kalimat Ayah.
            Hingga hari ini aku berdiri sebagai gadis 17 tahun, aku selalu mengingat kata-kata Ayah. Ya, Ayah benar! Sepeda itu menggantikan Ayah. Ketika anak perempuan lain mampu mengandalkan Ayah mereka untuk mengantar dan menjemput mereka pulang dari sekolah yang jaraknya 8 km dari rumah maka aku tidak. Aku tidak perlu diantar maupun dijemput karena sedari awal masuk sekolah. Aku selalu naik sepedaku sendiri dengan bangga, karena tidak semua temanku bisa naik sepeda. Panas terik dan hujan badai, aku melaluinya sendiri sebab Ayah selalu hadir menguatkanku dengan sepeda pemberiannya.
            Sekarang juga aku paham, bahwa Ayah mengajariku sepeda begitu keras bukan karena dia membenciku tetapi beliau sangat menyayangiku. Terbukti sejak kejadian iu, aku tak pernah menangis lagi hanya karena kesakitan. Aku mengerti apa yang dimaksud ayah dengan hidup yang keras. Hidup yang penuh tantangan dan hanya dengan keahlian kita mampu melewatinya. Kita harus berjuang dan benar-benar berjuang menahan perih jika ingin sukses meraih impian.
            Ayah, terima kasih untuk sepeda yang kau berikan untukku. Terima kasih untuk ilmu yang kau ajarkan padaku. Semoga tulisan ini mampu membahagiakanmu. Aku terlalu mencintaimu, ayahku.(9/11/2011 10:54:42 pm/illg)
Behind The Scene :
Ini adalah true story! Aku menciptakannya dengan sekali Viola! Abrakedabra!! Sempet nangis darah waktu nulisnya secara Ayah sekarang pisah rumah dari aku. Kangen banget sama Ayah!!! Tapi tetep aja, cerpen ini nggak lolos antologi AYAH AYAH J Sekali lagi aku bilang, aku bakalan nulis terus!! Nggak berhenti walau ditolak berkali-kali!    

0 komentar:

Posting Komentar

 

an illalang's story Copyright © 2011 Designed by Ipietoon Blogger Template and web hosting