Cinta dari Benci
Oleh : Sekar Illalang
Aku tak pernah sepenuhnya setuju dengan ide Mama pindah ke Wonogiri. Kota terpencil di selatan Solo ini. Memang kota ini asri, sejuk, dan damai. Wonogiri juga jauh dari kemacetan dan dekat dengan deretan pegunungan yang indah. Namun coba bayangkan hampir tiga bulan aku berada disini aku hanya punya tiga teman saja. Lebih parahnya hari ini saat kegiatan hiking mereka bertiga pergi dan membiarkanku sendirian ikut kegiatan ini. Aku sebenarnya paham tentang kepergian mereka. Titi pergi untuk mengikuti olimpiade Biologi tingkat Jawa tengah, Zahra pergi untuk mengikuti kompetisi basket, dan Anggi pergi untuk menjenguk kakeknya yang sakit ke Jogja. Lebih parahnya lagi aku tak pernah paham kenapa aku harus sendirian dalam kegiatan ini.
Pak Bambang masih terus berbicara keras di podium menjelaskan rute perjalanan hiking hari ini. Dia adalah guru olahraga kelas XI SMA N 1 Wonogiri dan itu berarti dia adalah guru olahragaku. Jujur saja selain tidak suka ide Mama pindah ke Wonogiri, aku juga tidak suka pelajaran olahraga. Menurutku pelajaran olahraga hanya membuatku hitam, berkeringat, dan bau.
“Hei..Hayumi cepat jalan !” tegur Teja menyadarkanku.
“Iya iya, dasar ketua kelas katrok !” sahutku sambil berlari mengejar barisan kelasku.
“Makanya jangan melamun nanti kalau tersesat gimana? Kamu belum tahu rutenya!” ujar Teja.
Aku hanya diam. Aku tak ingin menanggapi ucapan ketua kelasku yang ini karena hanya akan membuatnya besar kepala.
Aku tetap berjalan. Teman–teman sekelasku berjalan sambil ngobrol dan bercanda tak jelas. Bagiku obrolan mereka sangat kuno dan canda mereka juga sangat garing. Jauh bila dibandingkan dengan temanku di Jakarta. Harus ku tegaskan mereka sangat tidak gaul!
Langkahku masih tetap menapaki tepi jalanan Wonogiri. Aku berada di baris paling belakang kelas XI. Dalam pikiranku hanya ada keinginan untuk berjalan agar tidak tersesat. Tidak ada semangat sedikitpun. Satu-satunya yang menarik bagiku saat perjalanan ini hanyalah jejeran rumah berarsitektur jawa modern dan kebun rumah yang hijau. Hampir setiap rumah asri dan sejuk, apabila ada yang panas pasti itu rumah toko. Ahh.. tapi tetap saja kota ini neraka bagiku.
‡
‡‡

Drtt…drtt…drtt…
Blackberry bergetar, ternyata Keiko sahabat dekatku di Jakarta mengirim sebuah pesan. Langsung saja aku membukanya. Keiko bercerita tentang pertemuannya dengan Raditya Dika si penulis terkenal itu saat di toko buku. Lebih tepatnya dia berfoto bersama penulis keren bin ganteng itu. Aku pun dengan semangat menanggapi ceritanya. Kami pun saling berbalas pesan ria.
Tanpa terasa aku sudah lama berhenti di pinggir jalan. Aku baru sadar bahwa jejak teman-temanku sudah menghilang. Jujur rasa panik mulai mengusaiku tapi apa yang bisa ku lakukan. Akhirnya ku putuskan untuk mencoba mengejar mereka. Ada dua petunjuk jalan yang membantuku mungkin Pak Bambang yang membuatnya.
Jalanan aspal sudah berakhir sekarang, di depanku hanya ada dua arah jalan setapak. Petunjuk jalan pun tidak lagi aku temui. Aku mulai gusar namun masih berusaha meminta bantuan. Aku mencoba mencari solusi lewat Google maps atau menelpon teman, tetapi tak ada sinyal di sini. Habislah riwayatku!
Aku benar-benar ketakutan sekarang. Tempatku berdiri sekarang sudah jauh dari perkampungan. Lokasinya pun sudah di lereng gunung. Sunyi dan senyap. Tak ada penampakan manusia di sini. Arghh…! Aku hanya bisa mengacak-acak rambutku. Aku teringat teman-teman sekelasku yang tidak gaul itu. Andai saja aku mengikuti mereka tadi pasti kejadiannya tidak seperti ini. Aku baru sadar bahwa mereka sangat berarti untukku di saat seperti ini. Tertunduk dan menangis, hanya itu yang ku lakukan sekarang.
Semakin lama suasana mencekam semakin menyelimuti hatiku. Belum pernah aku tersesat seperti ini sebelumnya. Ini adalah situasi paling menyedihkan dalam hidupku sekaligus paling mengerikan. Mungkin setelah ini aku akan benar-benar protes pada mama untuk kembali ke Jakarta. Aku kembali menangis, air mataku jatuh bagaikan hujan yang sangat lebat.
“Hayumi !” panggil seseorang dibelakangku.
Aku mengangkat wajahku ketika mendengar suara orang memanggilku. Ternyata Teja si Ketua kelas itu yang memangilku. Tapi mungkinkah dia? Bukankah aku tadi sudah kasar terhadapnya? Aku kembali menatapnya dengan cermat karena mungkin saja dia orag jahat.
“Hayumi… Hayumi… Ngapain kamu masih di sini?” tanyanya sembari berjalan ke arahku. Kalau dia bukan Teja pasti tidak tahu namaku. Baru saja dia menyebut namaku dua kali berarti dia Teja.
“Aku tersesat karena kalian jahat meninggalkanku sendirian!” rutukku pada Teja.
“Bukannya tadi sudah ku ingatkan untuk berjalan agak cepat dan jangan melamun, apa kamu tidak dengar?” terang Teja.
“Tadi aku berhenti sebentar untuk membalas pesan tauk !” bentakku.
Herannya Teja tidak marah tapi malah tersenyum. Dia menggenggam tanganku untuk bangkit.
“Ayo.. Teman-teman sudah menunggu kita di puncak sana!” kata Teja.
Aku hanya terdiam melihatnya. Aku seperti tersihir melihat sikapnya. Teja begitu baik padaku. Kami pun bergandengan tangan berjalan menuju puncak gunung. Sangat bahagia rasanya.
‡
‡‡

“Huaaaahh, segarnya” pekikku ketika sampai di puncak gunung. Aku tak menyangka jika udara disini sesegar ini.
“Ini namanya gunung Gandul, kamu harus tahu namanya karena sekarang kamu warga Wonogiri” terang Teja.
“Ya.. Aku harus tahu lebih banyak soal Wonogiri. Lihat pemandangan indah banget dari sini !” ujarku kagum.
“Emang indah banget, Wonogiri lebih eksotik dari sini. Aku senang mi..” kata Teja sambil menatapku.
Aku terdiam. Jujur aku tak mampu berbuat apapun kecuali bernafas ketika Teja menatapku. Mata elangnya seakan menelanjangiku.
“Aku senang karena kamu sudah mau tersenyum sekarang. Baru kali ini aku melihat kamu bahagia sejak kamu pindah ke Wonogiri” kata Teja melengkapi kalimatnya yang tadi.
Aku sedang berfikir kalimat apa yang pantas untuk menanggapi Teja. Namun tiba-tiba teman sekelasku mendekati kami, maksudku aku dan Teja. Para cewek mengelilingiku dan bergantian memelukku. Rasanya aneh, mungkin mereka mengira aku baru saja lolos dari cengkraman gozila. Jadi mereka memberikan ucapan selamat dengan cucuran air mata.
Sementara itu yang cowok tidak kalah hebohnya. Mereka meyalami Teja, seakan Teja adalah Hercules yang telah menyelamatkan putri kerajaan. Jangan tanya siapa putri kerajaannya karena sudah jelas, aku. Namun Teja beda denganku. Dia juga sangat mirip dengan Hercules. Ketika para cowok itu menyalaminya, dia sangat semangat menjabat setiap tangan sambil menyunggingkan senyum. Ya.. itu senyum Hercules, setidaknya untukku!
Hanya sebentar aku memandangi Teja, selebihnya aku sibuk dengan para cewek teman sekelasku yang baru beberapa menit yang lalu aku kenal. Mereka menawariku berbagai jajanan pasar khas Wonogiri. Ada gatot, gethuk, gendar, dan lain-lain. Entahlah aku tak mampu menghafal dalam sekejap tapi aku mampu melahap jajanan itu sekejap. Rasanya sangat enak, menurutku lebih enak dari hamburger dan lebih berkelas dari pada pasta. Lalu minumnya aku semula kehabisan air mineral, ditawari cendol khas Wonogiri. Ini pertama kalinya aku minum cendol dengan model seperti ini. Cendol warna-warni yang mendinginkan perut dipadukan dengan sensasi gula jawa asli. Rasanya numero uno !
Selain menghibur perut, teman-temanku juga menghibur hatiku. Bayangkan yang semula aku berfikiran sangat negative pada mereka menjadi berubah 180 derajat. Ternyata mereka sangat menyenangkan bila diajak bercanda sehingga dalam waktu sekejap aku mampu membaur bersama mereka. Mereka menjelaskan padaku tentang betapa indahnya Wonogiri dan betapa menyenangkannya hidup di Wonogiri. Mereka juga menunjukkan betapa beruntungnya aku berteman dengan mereka karena mereka sangat baik kepadaku. Padahal aku sangat acuh dan meremehkan mereka.Akan tetapi mereka tidak membalasku dan mereka malah menyayangiku seperti teman lama mereka. Aku jadi malu telah berprasangka buruk pada mereka.
‡
‡‡

Puas menikmati keindahan Wonogiri dari puncak Gunung Gandul. Aku dan teman-teman pun segera turun sebab masih ada kewajiban lain, yaitu kembali ke SMA Negeri 1 Wonogiri.
Aku tak lagi berjalan di barisan paling akhir kini aku berjalan di tengah-tengah mereka. Itu tertawa bila ada hal lucu, terkejut bila ada monyet nakal, dan bersedih bila ada teman yang jatuh karena tersandung batu. Intinya aku telah sanggup menyatu bersama mereka.
“Hayumi…”panggil seseorang di belakangku. Aku segera menoleh cepat kearah suara panggilan itu.
“Hayumi…” ternyata Teja yang memanggilku.
“Hai.. ada apa?” tanyaku sambil mendekatinya.
“Ini untukmu!” katanya sambil menyerahkan sesuatu untukku.
“Apa ini? Semacam bunga?” sengaja aku mengamati bentuk benda yang ada di genggamanku sekarang.
“Ini bunga pinus. Teman-teman sengaja merangkainya dalam wadah rotan ini untukmu. Mereka sangat bahagia dapat berteman denganmu” terangnya padaku.
Aku memandangi mata Teja untuk memastikan apa yang dibicarakannya. Ternyata di matanya hanya terpancar aura ketulusan, berarti ini semua benar. Dia tak sedang omong kosong. Dan dia juga memandangiku. Kami bertatapan sejenak.
“Oh..ini sangatlah indah Teja, aku merasa sangat tersanjung menerimanya” kataku bersamaan dengan menyudahi adegan romantis kami.
“Benarkah? Pasti mereka juga sangat bahagia jika kau mau menerimanya!” ujarnya sambil tersenyum.
“Iya ini sangat indah dan aku sangat berterima kasih pada mereka juga padamu”
Saat aku mengucapkan kalimat terakhir bertepatan denga itu, mataku dan mata Teja kembali bertemu. Ahh… hatiku mulai berdebar sekarang. Ada sensasi tak biasa yang terjadi dalam hatiku. Sejenak. Lalu Teja tertuduk, mukanya merah mungkinkah dia merasakan hal yang sama.
“Oh ya mengapa mereka memberiku bunga indah ini? Kenapa tidak yang lain, padahal tadi aku lihat banyak tanaman lain yang lucu di hutan?” tanyaku pada Teja untuk mencairkan ketegangan kami.
“O… Itu karena bunga pinus ini hanya mekar dan tidak akan layu selamanya. Anggap saja mirip edelwise. Dengan begitu kami berharap kamu mau bersahabat dengan kami selamanya”
Entahlah aku merasa semakin bahagia saat Teja selesai melengakapi kata terakhir dan menyatukanya me njadi kalimat. Mendadak dia lebih keren dari Raditya Dika. Sangat simple dan sangat filosofis.
Untuk kesekian kalinya aku ingin bilang pada semua orang bahwa aku tidak pernah menyangka apabila Wonogiri kota yang menyenangkan dan teman sekelasku juga sangat mengembirakan. Semuanya diluar dugaanku. Bahkan aku tak pernah bermimpi bertemu seorang yang mirip Raditya Dika meski hanya sedikit kemiripannya di tempat ini. Andai saja aku lebih cepat membuka mata dan hatiku pasti semua kebahagiaan ini terjadi juga semakin cepat. (6/20/2011 12:41:21 AM)
Behind the scene :
Cerpen ini adalah cerpen latihan. Ya, aku mencoba membuatnya dari pengalamanku di sekolah dengan sedikit imajinasi. Latar dan setingnya asli di sekolahku. Cerpen ini pernah bertarung untuk Audisi Kumpulan Cerpen Colors of Hearts yang diadakan Grup paling kece di Fb yaitu Diskusi Fiksi.Menulis Fiksi.Membaca Fiksi (Universal Nikko+mayokO aikO) tapi gagal. Yah, kali ini aku nggak begitu sedih ngedengernya karena cerpenku yang satu lagi berhasil masuk di Antologi Colors of Hearts, Universal Nikko. Buku antologi pertamaku sudah di launching tanggal 27 November 2011 , buat yang penasaran capcus aja ke toko buku terdekat! Buat yang nggak beli kalian NYESEL!
0 komentar:
Posting Komentar