Cerpen untuk Erin
Oleh : Sekar Illalang
Sore yang mendung. Afgan menatapi sehelai kertas di tangannya. Wajahnya nampak murung. Beberapa detik kemudian dia meremas kertas itu. Baru saja akan dilemparnya remasan kertas itu ketika terdengar suara berseru di belakangnya.
"Tunggu...."
Nampak Ariel berlari ke arahnya. Sedetik kemudian remasan kertas itu sudah berpindah ke tangan Ariel.
"Kamu sungguh-sungguh, Gan?"
Afgan tercenung. Haruskah dia mengangguk, atau malah berpura-pura dan menggeleng?
“Ingat sudah banyak kertas yang kamu buang hari ini!” seru Ariel.
“Aku hampir gila! Ini sudah kertas ke-100 yang aku buang hari ini, aku menyerah!”
“Bukankah kamu dan Erin sudah jalan hampir setengah tahun? Lalu sekarang hanya karena kamu lupa beli coklat pesanan Erin, kalian mau putus? Ayolah, Erin cuma ngasih syarat bikin cerpen dadakan dan lansung maafin kamu, Gan? Kamu bisa!”
“Ini nggak semudah yang kamu kira?” kata Afgan setengah membentak.
“Cooling down , Gan. Erin sebenarnya cuma pengen kamu itu menghargai hobinya. Selama ini kamu selalu ngeremehin cerpen tulisan Erin. Kamu nggak pernah berpikir betapa sulitnya Erin bikin cerpen!”
Afgan diam dan meninggalkan Ariel begitu saja.
♥♥♥♥
Pukul 24.56, Afgan belum tidur. Dia masih sibuk menyelesaikan cerpen dadakan yang diminta Erin. Otaknya buntu. Afgan tak mengira membuat cerpen itu sangatlah sulit. Dia harus menentukan tema, menulis kerangka, dan merangkai kalimat. Itu semua sungguh menguras tenaganya. Apalagi dia harus menulis cerpennya dengan tulisan tangan karena komputer di rumahnya sedang rusak.
“Belum tidur, Gan?” tegur Ibunya dari luar kamar.
“Belum, bu. Masih ngerjain PR.”
Lalu terdengar suara pintu kamar yang terbuka sesaat Ibu sudah berdiri di samping Afgan.
“Jangan bohong sama Ibu, Gan! Ini bukan PR tapi cerpen. Apakah Erin yang menantangmu?” tanya Ibu sambil memungut kertas yang berserakan di lantai.
Afgan diam tetapi kepalanya mengangguk.
Afgan diam tetapi kepalanya mengangguk.
“Kamu pernah buat sebelumnya?”
“Tidak sama sekali, Bu!”
“Pasti ini sulit bagimu, Gan. Akan tetapi akan sangat berguna untukmu. Setelah ini kamu akan paham, bahwa membuat cerpen itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Perlu keahlian khusus karena membuat cerpen itu juga ada seninya. Ibu pernah melihatmu mengejek Erin ketika cerpennya ditolak majalah. Itu tidak baik, Gan. Apalagi si Erin bukan teman biasa untukmu!”
“Aku harus bagaimana, Bu?”
“Cobalah memenuhi tantangan Erin! Buatlah cerpen dari kisah nyata kalian lalu tambahkan sentuhan supaya spesial. Jangan kecewakan Erin!” terang Ibu sambil pergi meninggalkan Afgan.
Kata-kata yang keluar dari mulut Ibu menjelma menjadi jawaban atas gundah di hatinya. Ide cerpen muncul begitu saja. Tanpa ragu, dia langsung menulisnya.
♥♥♥♥
Pagi ini, gerimis jatuh manis. Tanah, daun, dan dahan terlihat jelas masih basah setelah terguyur hujan subuh tadi. Namun matahari tak ingin telalu lama terlelap di peraduannya. Dia sudah bersinar dibalik sisa-sisa mendung.
“Erin…” panggil Afgan dari kejauhan.
Erin yang sibuk mengamati teratai yang tumbuh liar dalam kolam kecil di taman belakang sekolah. Sepertinya dia tidak mendengar panggilan dari Afgan.
“Erin..” panggil Afgan sekali lagi, jarak mereka sudah cukup dekat.
“Ada apa?” tanya Erin sambil menoleh ke arah Afgan.
“Aku mau minta maaf.”
“Kamu tahu kan, Gan? Ini bukan sekedar masalah cokelat? Aku nggak bisa maafin kamu begitu aja!”
“Rin please, kamu terima ini. Setelah itu terserah kamu mau ngapain.” pinta Afgan dengan tulus.
Erin menerima kotak berwarna merah marun itu. Afgan terlihat lega melihatnya. Mata mereka saling berpandangan da sesaat dunia hening. Alam seakan mengerti perasaan manusia di sekitarnya.
Teett…tettt…tettt…. Bel tanda dimulainya pelajaran sudah berbunyi.
“Aku mau kembali ke kelas!” ujar Erin.
“Kamu bener, Rin. Selama ini aku sering banget ngeremehin cerpenmu. Aku nggak pernah ngebayangin betapa sulitnya kamu bikin cerpen. Dan aku juga salah sama kamu, waktu itu aku sengaja nggak bawain kamu cokelat bukannya lupa bawa cokelat. Saat itu aku sebel banget sama kamu habisnya kamu lebih milih bikin cerpen dari pada hang out sama aku. Aku ngaku salah.”
Erin menatap Afgan, dia melihat penyesalan yang mendalam tersirat di mata Afgan. Cowok yang sudah menemani hari-harinya di SMA hampir enam bulan itu memang sangat menawan. Jujur, dia belum pernah sedetikpun berhenti mencintai cowok itu.
“Udah, Gan. Aku akan buka kotak ini saat jam istirahat. Aku mau kembali ke kelas, selamat belajar!” kata Erin sambil berlari kecil meninggalkan Afgan.
“Lalu hubungan kita, Rin?” tanya Afgan hampir berteriak.
Erin menghentikan langkahnya. Dia memutar badannya seratus delapan puluh derajat.
“Aku udah maafin kamu, Gan! Aku sayang kamu!” teriak Erin.
Afgan tak percaya dengan apa yang dia dengar. Suara Erin tadi seakan masuk merasuk dalam sukmanya. Hatinya terasa hangat. Mungkin perasaannya gembiranya terlalu membuncah hingga tak sepatah kata pun yang mampu keluar dari mulutnya. Terima kasih, Erin!
Behind the science : Cerpen ini sebenernya sengaja aku buat untuk ikut audisi cerpen dadakan di Majalah Story bulan Oktober 2011. Akan tetapi, aku belum beruntung alias kalah -___-‘ sedih banget deh! Aku paham untuk jadi professional writer kita harus banyak latihan. Semangat!!
0 komentar:
Posting Komentar